Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Riding Report, Rute Puhpelem Wonogiri ke Pagerukir Ponorogo, Serasa Kembali ke Masa Lalu

Daerah subur di sekitar gunung Lawu mengandung banyak peninggalan sejarah dari kerajaan-kerajaan zaman dulu. Salah satunya adalah kerajaan Medang, yaitu kerajaan transisi ketika ibukota Mataram Hindu di wilayah barat Gunung Lawu berpindah ke timur Gunung lalu sampai era Majapahit.

Salah satu daerah yang banyak menyimpan artefak kerajaan Medang adalah Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo. Walaupun upaya arkeologis yang serius belum digalakkan oleh pemerintah untuk menggali sejarah yang terkubur di dalamnya.

Tujuan pertama saya berkendara kali ini adalah mata air beji di desa Pandan, Kecamatan Sampung Ponorogo. Mata air ini pernah diliput dalam salah satu acara di JTV, satu yang menarik saya adalah adanya terowongan air kuno peninggalan era Kerajaan Medang dan masih berfungsi. Tapi karena hanya mengandalkan bertanya pada orang tanpa tahu alamat pasti, serta yang ditanya pun banyak gak faham.

savana

Walhasil saya pun terdampar di desa Puh Pelem, Baturetno, Wonogiri. 🙁 setelah istirahat sebentar di masjid depan Balaidesa Puh Pelem, saya pun memutuskan untuk ke tujuan alternatif. Situs Watu Dukun di desa Pagerukir Ponorogo. Sebuah situs yang dipercaya peninggalan Raja Darmawangsa saat bertahta di Kerajaan Medang.

Karena gak mau gagal lagi, kali ini saya mau patuh sama mbah google. Setelah searching, inilah gambaran rute yang didapat. Saat saya zoom, sebenarnya agak ragu juga karena pasti ini rute jalanya kelas offroad padahal shokbreker depan saya bocor. Ahhh sudahh lahhh, nekad saja. Ketika sampai di pertigaan yang ditunjukkan tanda panah, saya memilih belok kiri menelusuri rute warna hitam (rute alternatif) karena di ada pohon besar yang menjulang tinggi.

Dan ternyata benar, rute ini benar-benar membawa saya nostalgia ke masa lalu. Sekaligus membuat hati miris, bahwa setelah 70 tahun merdeka, ternyata masih ada warga yang rumahnya berdinding anyaman bambu 😥 Sawah-sawah yang saya lalui umumnya kering tandus, walaupun musim hujan hanya bisa ditanami Jagung. Andai dulu mbah harto tidak menggalakkan makan nasi beras putih,mungkin sekarang kita akan punya dua atau tiga opsi saat makan di restoran. Nasi beras, nasi jagung atau Nasi Gaplek.

Tapi apa daya, doktrin swasembada beras di zaman Mbah Harto telah membuat imej Nasi Gaplek sebagai makanan orang susah hingga almarhum simbah saya saja ogah makan nasi gaplek karena mengingatkan pada zaman susah dulu. Bila Gaplek-Jagung menjadi makanan pokok maka setidaknya harganya bisa setara beras, para petani juga semangat menanam jagung dan ketela, bukan seperti saat ini. Dimana dalam setahun, sawah di desa saya selalu ditanami padi sehingga rentan hama.

Saya pun melanjutkan perjalanan dengan jalur alternatif yang ditunjukkan Gmaps, sepanjang jalan cukup rata karena bila tidak terbuat dari cor kanan-kiri atau terbuat tumpukan batu alam yang solid , tanjakan dan turunan cukup curam. Untung bawa matik :mrgreen:

Sampai diatas, kabut dan hawa dingin khas pegununung menyelinap masuk ke dalam jaket tebal saya. Ditambah cuaca yang terus berawan membuat saya sempat merinding saat memasuki area hutan perbatasan Ponorogo-Wonogiri, ditambah suasana gonggongan anjing. Tapi kafilah harus tetap berlalu. :mrgreen:

Akhirnya sampai juga di desa Pagerukir, tapi masih butuh beberapa KM lagi, saya putuskan rehat sejenak di poskamling sembari menikmati dentuman irama rock dangdut dari salah satu rumah penduduk yang memecah kesunyian desa.

bersambung ..

 

Artikel Riding Report lainya:
– Gunung Gajah Ponorogo, Puncak Selatan Bumi Wengker Ponorogo
– Sunset di Tumpak Pelem Ponorogo
– Pudak, Jalan buntu Ponorogo
– Candi Sukuh, Piramida Jawa
– Dolo, dari Pulung menuju puncak willis di Trenggalek-Tulungagung
– Gajah ketika musim kemarau
– Air Terjun Plethuk Ponorogo– Tersesat di jalan saat testride Honda CB150R

 

 

Post a Comment for "Riding Report, Rute Puhpelem Wonogiri ke Pagerukir Ponorogo, Serasa Kembali ke Masa Lalu"